About Me

My photo
Hidup tak akan berarti kalau bukan diri sendiri yang membuatnya berarti

Saturday, August 16, 2014

(RePost) FF Sands Chronicle / Sands Glass / Sunadokei Ch 1

Ann’s POV

Kereta yang akan membawa ku ke kantor telah tiba. Saat aku bergerak ingin menaikinya, tiba-tiba saja kepala ku terasa sangat pusing dan akhirnya aku terhuyung kebelakang. Dan kereta ku yang seharusnya membawa ku ke kantor telah pergi tanpa aku didalam sana. Bingung. Itulah reaksi pertama ku. Aku bingung harus melakukan apa. Pikiranku menjadi gelap. Aku tak lagi ingin pergi ke kantor. Yang aku tahu sekarang, aku tak punya tujuan. Tiba-tiba ada kereta berhenti di depanku. Tanpa pikir panjang aku menaiki kereta tersebut. Lalu aku mencari tempat duduk dan menghempaskan pantat ku disana. Aku Cuma ingin tidur, tanpa pernah terbangun lagi. Aku harap semua kejadian buruk ini hanyalah mimpi. Aku harap setelah terbangun, akan ada daigo disampingku yang akan selalu menggenggam tangan ku atau setidaknya pacar ku itu tak jadi memutuskan pernikahannya dengan ku hanya gara-gara hal sepele, tak mau diceramahin dengan kata-kata mantan pacarku. Tapi, aku tahu ini semua kenyataan dan bukan mimpi. Ingin sekali rasanya aku tenggelam.
Saat aku membuka mata, ada seorang ibu yang memandang ku. Ibu itu memandang ku dengan tatapan aneh, mengiba. Pelan-pelan ia mendekatiku dan berkata “ Ada apa nak? Sepertinya kau sedang ada banyak masalah? Ayo bersemangatlah!” Setelah mengatakan itu, sang ibu pergi ke gerbong lain.
Huh? Semangat?
Apa bisa?
Aku merasa… Lelah?
Capek?
Hanya kata-kata itu yang ada dipikiran ku sekarang. Aku tak tahu harus kemana lagi. Tak ada tujuan yang jelas. Tak ada lagi yang harus kupertahan kan di dunia ini. Jadi, buat apa aku harus berusaha? Kenyataan itu membuatku tersenyum puas. Ya! Buat apa aku harus berusaha. Buat apa aku mendengarkan kata ibu itu untuk tetap bersemangat. Bersemangat? Bersemangat untuk apa? Hidup ku telah hancur dan tak berguna lagi. Hahaha! Ya! Aku sekarang sangat yakin kalau aku tak perlu lagi berusaha! Sudah sepatutnya aku menyerah! Mama saja menyerah dengan mudahnya, padahal ia punya aku yang bisa dipertahankan.
Aku capek! Aku rasa aku sudah berada dikubang kegelapan. Ingin rasanya aku tenggelam dan kuharap tak ada yang akan menarik ku lagi. Dan saat aku tersadar dari lamunan ku. Ternyata kereta ini membawaku ke Okayama. Dan sekarang aku tahu harus kemana. Aku pun berjalan menuju pintu keluar, menunggu kereta ini berhenti. Setelah berhenti aku menaiki taksi yang kulihat pertama kali dan berkata “Pak tolong antar ke pantai okayama,”
Diperjalanan aku kembali melamun. Dan merasakan betapa senangnya nanti bila aku melakukan hal ini. Aku tidak akan merasa capek lagi! Aku akan bebas!
Sesampainya di pantai, aku memberikan uang melebihi argonya. Kupikir, toh tidak ada gunanya lagi uang itu. Dan tiba-tiba aku merasa pemikiran itu sangatlah benar dan aku tersenyum puas. Setelah taksi itu pergi, aku pun mendekati pantai itu. Memandang gelung ombak yang bersemangat memperlihatkan betapa kuatnya ia. Aku tertawa menyeringai dan berkata,
“Hahaha. Hei ombak! Tidakkah kamu merasa capek? Setiap hari, jam, menit, bahkan detik kau selalu bersemangat membuat ombak yang besar! Dulu memang ombakmu sangat menyenangkan kami, para manusia, tapi sekarang! Lihatlah tak ada orang yang datang kesini! Semua berbondong-bondong meninggalkan mu! Mereka sudah sibuk dengan diri mereka masing-masing tanpa ingat padamu! Tapi mengapa engkau masih saja berusaha?! Hah!”
Percuma. Teriakan ku hanya dijawab dengan deburan keras ombak itu. Hahaha. Aku tertawa getir. Aku pun meneruskan perjalanan ku mengitari  pantai okayama.
“Aduh!” teriak ku. Kulihat ke bawah. Ternyata kaki ku terkena beling-beling yang berserakan. Darah mengalir keluar dikakiku.
Darah.
Merah.
Entah  setan apa yang tiba-tiba mengampiriku. Ku raih pecahan beling itu dan ku goreskan ke pergelangan tangan ku dengan amat dalam. “Aww!!” Teriakku ketika merasakan sakit yang amat sangat. Tapi rasa sakit itu kini menyenangkan karena aku tahu ini adalah terakhir kalinya aku merasakan sakit.
Dengan darah yang mengalir dari pergelangan tangan ku, aku menuju gelungan ombak yang sepertinya memanggilku untuk menemaninya. Rasa ingin tenggelam ku semakin kuat seiring senti demi senti aku menuju ke tengah laut. Dan kesadaran ku pun berangsung-angsur mulai menghilang.
Selamat Tinggal semuanya……
Aku sangat yakin dengan keputusan yang kubuat ini tapi tiba-tiba suatu benda dari saku jaketku berkhianat keluar muncul di permukaan laut. Ya! Itu adalah jam pasir pemberian daigo waktu kami berumur 14 tahun. Di kesadaran ku yang tinggal setengah, kenangan-kenangan datang menghampiri ku. Saat mama pergi meninggalkan ku untuk selama-lamanya, saat daigo dengan lembut memperlakukan ku selayaknya seorang wanita, saat ayah menikah lagi, dan saat pacarku memutuskan pernikahannya dengan ku. Semua berputar-putar di otak ku. Dan satu hal yang menyadarkan ku kalau ini semua salah. Saat nenek menyalahkan dirinya atas kematian mama dan aku bilang kalau aku anak yang kuat seperti nenek.
Aku yang tersadar kalau perbuatanku itu salah dan aku langsung berusaha berenang menuju pantai. Tapi sia-sia saja, walau sudah sampai pantai, kesadaran ku sudah mulai terenggut dan tergantikan dengan kegelapan. Aku hanya berharap mereka semua tak ada yang menemukan ku dan akhirnya melupakan ku dengan cepat seiring dengan berjalannya waktu. Nenek, ayah, shika, fuji, dan…. Daigo mudah-mudahan mereka tak akan menangisi kepergian ku. Dan kegelapan mulai menghampiriku dan akhinya aku tak sadarkan diri.

Selamat tinggal semua. Terima kasih untuk semuanya. Maafin Ann yang menyerah dengan mudahnya.

No comments:

Post a Comment

No Flame Please \(^.^)/