About Me

My photo
Hidup tak akan berarti kalau bukan diri sendiri yang membuatnya berarti

Tuesday, July 12, 2016

HIDUP (Sebuah Puisi Iseng nan Asal)



Hidup...
Kenapa kau begitu membingungkan?
Ketidakpastian menjadi watakmu
Membelenguku dalam ketakutan
Dengan abu-abu sebagai warnamu

Roda hidup berputar begitu lambat
Tapi bisa cepat tanpa bisa dikira
Pantaskah aku takut dengan hidupku?
Terlalu menyakitkan untuk diingat

Burung pembawa kabar hinggap tanpa dipanggil
Merubah nasib mu dalam sekejap mata
Tawa menjadi tangis
Kebahagiaan menjadi kesedihan
Terang menjadi gelap

Tangisan kesakitan membuat iblis menertawakan mu
Berdoa meminta tolong pada Tuhan
Tanpa ingat kau jarang memuji-Nya
Mengingat-Nya dikala senang
Tak malukah dirimu?

Tapi apa daya?
Itulah manusia
Haus akan kebahagiaan
Tanpa mau mendapatkan kesakitan
Egois!!! Sangat!
Tapi itulah hidup...

Sunday, July 10, 2016

My Opinion About the Increase of Labor Costs in Indonesia



Jika mendengar demo buruh mengenai peningkatan UMR di Indonesia, entah kenapa saya merasa skeptis mendengar itu semua. Isu terbaru dan terkini adalah mengenai demo buruh yang terjadi di Surabaya yang meminta peningkatan UMR 2016 dari 2.710.000 menjadi 3.200.000 yang mana UMR 2016 di Jakarta itu lebih rendah yaitu sekitar 3.100.000. Jika dipikir-pikir kebutuhan hidup di Jakarta lebih tinggi jika dibandingkan di Surabaya, walaupun Surabaya merupakan kota besar di pulau Jawa bagian timur. Menurut Badan Pusat Statistik, Surabaya menempati peringkat ke-8 dari 10 kota dengan biaya hidup termahal, tetapi Jakarta menempati peringkat nomer satunya. Mungkin pemikiran saya terbilang kapitalis, tetapi saya pikir jika melihat pendidikan terakhir buruh yang lulusan SMP pun bisa menjadi buruh malah kadangkala ada buruh yang berpendidikan terakhir SD, saya kira itu merupakan angka yang besar untuk upah seorang buruh. Memang itulah hukum sosial yang harus dihadapi. Ada pepatah adil itu bukan sama rata tetapi adil itu mendapatkan hak sesuai dengan kewajibannya. Jika dipertanyakan lebih lanjut, apakah upah lulusan S1 harus sama dengan lulusan SMA atau SMP? Karena disini pengaturan mengenai upah minimum hanya ditujukan untuk buruh tetapi untuk pekerja untuk lulusan fresh graduate tidak ada peraturan yang mengikat. Menurut artikel di sipendik.com mengenai daftar standar gaji perusahaan di Indonesia dimana masih ada gaji 3 juta tertulis diartikel tersebut yang berarti upah lulusan S1 dan buruh HAMPIR sama. Apakah itu yang disebut adil? Jika membandingkan dana dan waktu yang BUANG lulusan S1 untuk meneruskan sekolahnya agar mendapatkan kehidupan yang LEBIH layak.
            Lalu mari kita berpikir lagi, jika dikatakan karena mereka, yaitu para buruh, berkata tidak dapat mengenyam pendidikan karena kekurangan dana untuk sekolah tetapi belanja pemerintah untuk bidang pendidikan dari beberapa tahun silam telah digalakkan dari bentuknya dana BOS, sekolah gratis, dan lain-lain yang menunjang pendidikan. Saya tidak melihat bukan dari sisi daerah tertinggal dimana saya pikir hampir tidak ada buruh disana karena tak ada pabrik disana yang berarti buruh bekerja di daerah perkotaan atau daerah pedesaan dimana di desa itu sudah terdapat sekolahan. Jadi, saya pun cukup bingung, apakah ini karena orang tua yang kurang effort atau effort orang tua yang biasa-biasa saja yang membiarkan anaknnya untuk tidak sekolah tinggi atau mungkin juga anaknya yang malas sekolah karena menganggap sekolah itu memusingkan dan lebih baik untuk bekerja? Karena sudah banyak sekali bukti dimana masyarakat kalangan bawah bisa megenyam pendidikan sampai kuliah, malah ada yang sampai kuliah di luar negeri lewat beasiswa, contohnya ada anak dari tukang becak yang menjadi dokter, ada pemulung yang kuliah di salah satu kampus ternama di Bandung, dan ada seorang pemulung yang bersekolah di salah satu SMA terbaik di Jakarta dan mendapat beasiswa untuk kuliah di luar negeri. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah benar jika gajih buruh terus ditingkatkan itu suatu hal yang baik? Mungkin dalam jangka pendek saya dapat berkata iya, tetapi dalam jangka panjang? BIG NO, karena akan berdampak pada psikis anak Indonesia dimana mereka menganggap dengan menjadi buruh dengan effort yang kecil dapat menghasilkan upah yang “lumayan”. Akan semakin banyak anak Indonesia yang malas untuk bersekolah. Angka putus sekolah yang tinggi tak akan  teratasi. Apakah buruh yang sejahtera dapat menghasilkan generasi yang baik nantinya dari segi pendidikan? Apakah nantinya buruh akan menjadi suatu cita-cita? Karena menurut saya pendidikan mau formal ataupun informal sangat menentukan besarnya upah, dan memang itulah salah satu tujuan jenjang pendidikan dimana tiap tingkatnya mendapatkan upah yang berbeda.
            Sekarang mari kita lihat dari segi kemampuan buruh dan pemilik usahanya. Demo buruh adalah demo untuk seluruh perusahaan di daerah tersebut untuk meningkatkan UMR. Tapi, pernahkah buruh-buruh yang berdemo memperhitungkan kemampuan perusahaannya? Karena tidak semua perusahaan merupakan perusahaan yang berskala besar, yang sebagian besar perusahaan di Indonesia merupakan perusahaan-perusahaan kecil dan termasuk infant industry. Mungkin jika buruh-buruh tersebut demo untuk perusahaan yang skala usahanya sudah besar itu wajar karena produktivitasnya pun mungkin sudah efisien, tetapi jika berdemo untuk perusahaan kecil? Lalu, mari beralih ke kemampuan buruh dalam memproduksi. Apakah buruh yang berdemo itu sudah bekerja secara efisien? Dimana produktivitas atau kinerja mereka tinggi dalam menghasilkan produksi di perusahhan tersebut. Tetapi, apakah produktivitas buruh di Indonesia tinggi? Ataukah malah lebih rendah? Menurut saya, produktivitas di Indonesia terbilang rendah jika melihat skill dan pendidikan yang dienyam. Selain itu,  jika melihat contoh di Jakarta dimana UMR yang ditetapka biasanya hampir 200ribu lebih tinggi dari pada kebutuhan hidup layak (KHL) yang ditentukan. Kel ebihan tersebut harusnya bisa dialokasikan untuk sesuatu yang produktif bukan konsumtif ataupun bisa untuk ditabung. Tetapi banyak kasus dimana sangat banyak buruh yang menggunakan kendaraan bermotor, bukan menggunakan angkutan umum, yang artinya mereka memiliki cukup keberanian untuk mencicil dari pembelian motor tersebut karena upah tersebut dianggap cukup untuk cicilan motor tersebut. Bayangkan jika gaji buruh mencapai 10 juta. Saya yakin bukan hanya motor yang dicicil, tetapi mobil ataupun rumah yang mereka cicil.
            Lalu mari melihat kita bandingkan upah buruh di Indonesia dengan upah buruh di negara lain. Menurut detik finance beberapa upah buruh di ASEAN: Kamboja US$ 64/bulan, Laos US$ 78/bulan, Myanmar US$ 112/bulan, Vietnam US$ 113/bulan, Thailand US$ 197/bulan, Filipina US$ 200/bulan, Indonesia US$ 226/bulan, Malaysia US$ 300/bulan, Singapura US$ 406/bulan. Di ASEAN, Indonesia menempati peringkat ketiga upah buruh tertinggi setelah Singapore dan Malaysia. Biaya hidup di Singapore dan Malaysia terbilang tinggi sehingga wajar jika upah buruhnya tinggi, tapi Indonesia? Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DKI Jakarta Sarman Simanjorang berpendapat nilai upah buruh Indonesia yang tinggi tidak berbanding lurus dengan produktivitas buruh Indonesia yang hanya menduduki peringkat 5 di kawasan Asia Tenggara di bawah Thailand dan Vietnam. Hal ini membuat investor berpikir jika buruh buruh di Indonesia hanya menuntut gaji tetapi tidak diimbangi produktivitas. Jika kenaikan UMR terus terjadi tanpa adanya kenaikan produktivitas, tak memungkinkan perusahaan akan mem-PHK burunhnya dan menggantinya dengan teknologi agar produksinya lebih efisien.
            Ada beberapa kritik mengenai peningkatan UMR dan KHL. Menurut saya, jika dilihat dari item-item yang masuk di dalam KHL, item-item tersebut hanya diperuntukan untuk buruh yang belum menikah ataupun hanya memiliki anak satu. Sedangkan banyak buruh yang sudah menikah. KHL tidak memasukkan di item pendidikan mengenai sekolah juga peralatan sekolahan. Sehingga KHL mungkin tidak efisien jika buruh tersebut memiliki jumlah keluarga yang besar. Menteri Ketenagakerjaan Muh Hanif Dhakiri mengusulkan sistem upah dengan pembagian hasil produktivitas perusahaan sebagai alternatif dari sistem upah konvensional yang diterapkan selama ini. Pembagian hasil peningkatan produktivitas tersebut dilakukan dengan model distribusi yang berkeadilan kepada semua pihak yang berperan menciptakan tambahan pendapatan yaitu pengusaha, pekerja dan para pihak pendukung lainnya. Dengan memperkenalkan sistem bagi hasil produktivitas itu diharapkan hubungan industrial dapat melangkah lebih maju yaitu tidak hanya terpaku kepada penetapan upah minimum saja, akan tetapi lebih berorientasi kepada peningkatan produktivitas perusahaan sehingga ikut meningkatkan upah atau kesejahteraan pekerja. Selain itu, ada rencana pemerintah yang jika benar-benar teralisasi sangat bagus untuk menunjang buruh, yaitu pembangunan rumah sakit khusus untuk buruh dan penghapusan penghasilan kena pajak. Jika hal ini dapat terealisasi maka buruh akan sejahtera dengan cara yang produktif. Semoga pemerintah dapat mengambil keputusan yang bijak dalam keputusan upah di Indonesia.