Indonesia, sebagai negara berkembang, kini sudah mulai
meninggalkan konsep pemerintah ke konsep swasta sebagai motor penggerak
pertumbuhan ekonomi. Peningkatan peran swasta berupa ekspansi usaha sangatlah
membutuhkan pendanaan yang cukup besar, tetapi pinjaman domestik tidaklah cukup
untuk memenuhi permintaan pendanaan swasta domestik dan pihak luar memiliki sumber
pinjaman yang melimpah. Oleh karena itu, pihak swasta di Indonesia meminjam
dana dari luar untuk ekspansi usahanya tersebut sehingga utang luar negeri
swasta tersebut meningkat. Terlihat pada tahun 2009, utang luar negri swasta di
Indonesia sebesar USD 73.606 juta dan pada tahun-tahun selanjutnya terus
mengalami peningkatan sampai pada awal tahun 2014, utang luar negeri swasta di
Indonesia menjadi sebesar USD 141.352 juta. Tingginya
utang luar negeri swasta ini membuat pemerintah dan para pengamat ekonomi cemas
dengan keadaan perekonomian Indonesia, pasalnya utang merupakan objek yang
sangat rentan terhadap resiko dan berdampak pada perekonomian Indonesia atau
dengan kata lain eksposur.
Dalam jangka panjang,
ULN swasta dapat menimbulkan berbagai macam persoalan ekonomi Indonesia.
Defisit current account (CA) di
sektor swasta menyebabkan utang eksternal swasta meningkat karena swasta
membutuhkan dana untuk menutup defisit tersebut. Hal tersebut membuat foreign exchange reserve (FER) swasta
menurun dan untuk meningkatkan FER maka swasta membeli dollar ke pasar uang
menggunakan rupiah. Hal ini akan membuat nilai tukar rupiah jatuh dan mengalami
depresiasi rupiah. Terlebih lagi depresiasi ini tidak diiringi dengan
peningkatan ekspor, malah mengalami penurunan ekspor sehingga perekonomian
Indonesia semakin terpuruk. Padahal dengan adanya depresiasi ini, nilai
barang-barang ekspor akan meningkat.
Sebagian
besar utang yang dimiliki pihak swasta kurang diikuti dengan kehati-hatian
sehingga timbul fenomena maturity mismatch yang dihadapi sektor
perusahaan secara umum. Maturity mismatch terjadi karena pinjaman jangka
pendek yang diterima digunakan untuk membiayai investasi jangka panjang,
sehingga terdapat risiko akibat perbedaan jatuh tempo antara aset dan kewajiban
yang dimiliki. Apalagi banyak korporasi yang utangnya dalam valuta asing tetapi
penerimaannya dalam rupiah dan tidak menerapkan lindung nilai atau hedging sehingga menimbulkan resiko yang
cukup tinggi apabila terjadi depresiasi rupiah. Selain itu, dengan semakin
meningkatnya ULN Swasta, maka pihak swasta akan semakin ketergantungan dari penerima bantuan (dalam negeri) terhadap pemberi
bantuan (luar negeri).
Mulai dari pertengahan
tahun 2011 sampai akhir tahun 2013, CA Indonesia mengalami defisit yang sangat mengkhawatirkan
karena pembayaran CA menggunakan valas dollar sehingga terjadi peningkatan
utang luar negeri secara riil. Selain pemerintah, swasta juga memiliki andil
dalam defisitnya transaksi berjalan (CA).
Defisitnya neraca berjalan swasta meningkatkan ULN swasta karena untuk menutup
defisit tersebut, swasta harus melakukan pinjaman. Tetapi di Indonesia pinjaman
domestiknya masih sangat terbatas
sehingga pihak swasta meminjam ke luar negeri. Pada 2013, baik transaksi berjalan
pemerintah maupun swasta mengalami defisit. Kinerja transaksi berjalan pada
tahun 2013 mengalami defisit 28,5 miliar dollar AS atau sekitar 3,26 persen
dari produk domestik bruto. Ini patut menjadi perhatian karena pada tahun-tahun
sebelumnya, transaksi berjalan swasta yang surplus selalu cukup untuk menutupi
defisit pemerintah sehingga neracanya bertahan positif. Tetapi pada tahun 2013
jumlah utang negara mencapai 123.548 juta dollar AS dan utang swasta mencapai 140.512
juta dollar AS. Dalam satu dasawarsa terakhir, tenor utang swasta semakin
pendek.
Utang luar negeri yang berlebihan dan pengelolaan yang
tidak efektif dapat menyebabkan perekonomian suatu negara ambruk, sehingga
diperlukan kebijakan ataupun tindakan dari pemerintah maupun swasta untuk
menekan peningkatan ULN swasta tersebut. Pertama, perlu adanya pembatasan rasio
utang luar negeri swasta karena dari tahun ke tahun ULN swasta semakin
meningkat tetapi tren ekspor malah semakin menurun. Rasio ini bertujuan agar
perusahaan lebih berhati-hati untuk menjalankan roda bisnisnya. Dalam hal ini,
rasio liabilitas tidak lebih besar daripada asset valas perusahaan tersebut.
Kedua,
financing dapat dilakukan dengan cara
jual beli obligasi dan saham. Peningkatan penjualan obigasi ke masyarakat akan
mengurangi ULN swasta dan berdampak positif bagi perekonomian Indonesia. Dengan
diterbitkannya obligasi valas di negeri sendiri,
pemerintah bisa mengamankan jumlah mata uang sehingga mata uang rupiah tidak
melemah. Selama ini, dengan diterbitkannya obligasi valas di luar negeri,
Indonesia rentan kehilangan dollar yang lebih besar, karena banyak pembelinya
berasal dari luar. Yield koorporasi yang relative tinggi menyebabkan
terjadinya capital inflow ke
Indonesia, sehingga daripada melakukan utang luar negeri perusahaan lebih baik
menerbitkan obligasi atau saham karena penggerak capital inflow adalah sentiment pelaku pasar, terutama investor
asing.
Ketiga, menghimbau pihak swasta
untuk melakukan hedging atau lindung
nilai kepada utang luar negerinya. Mayoritas para swasta tidak melakukan hedging pada utang-utangnya sehingga
saat terjadi depresiasi rupiah, nilai utangnya akan menjadi tinggi karena utang
tersebut berbentuk dollar. Dengan diberlakukannya hedging maka pengembalian utang valuta asing tersebut tidak akan
mengalami lonjakan nilai akibat pelemahan kurs rupiah terhadap dolar.
Keempat, mengimbau para
swasta untuk membuat ULN
dalam bentuk jangka panjang. Banyak perusahaan swasta yang melakukan pinjaman
luar negeri berjangka pendek untuk membiayai investasi jangka panjang (maturity gap) dan penggunaan utang untuk
proyek yang tidak menghasilkan devisa (currency
mismatch). Peningkatan utang luar negeri swasta mendorong peningkatan
kewajiban pembayaran kembali. Hal ini memberatkan pembayaran pihak swasta jika
sudah jatuh tempo karena investasi yang dilakukan malah berjangka pendek.
Sebelum mendapatkan penerimaan, pihak swasta sudah diminta untuk membayar
pinjaman beserta bunganya. Sehingga pemerintah mengimbau para swasta untuk
segera membayar pinjaman jangka pendek dan melakukan pinjaman jangka panjang
saja agar tidak menyulitkan saat jatuh tempo dan agar perekonomian Indonesia
tetap stabil.
Kelima, menurunkan suku
bunga kredit. Salah satu penyebab meningkatnya utang luar negeri swasta adalah
karena tingginya suku bunga kredit bagi korporasi yang membuat korporasi tidak
memiliki kesanggupan untuk mengambil kredit tersebut karena lebih beresiko.
Sehingga para swasta lebih memilih untuk melakukan pinjaman luar negeri. Dengan
menurunkan suku bunga kredit diharapkan akan meningkatkan investasi domestik
dan mengurangi ULN swasta sehingga dapat merangsang pertumbukan ekonomi
Indonesia.
Keenam,
diberlakukannya system deposit saat swasta akan melakukan utang luar negeri.
Biasanya para swasta tidak memiliki deposit untuk pembayaran cicilan utang
beberapa periode ke depan sehingga saat jatuh tempo swasta tersebut akan
terkena masalah. System deposit ini mengharuskan swasta memiliki dan menaruh
deposit ini sebesar tiga kali cicilan utang mereka sehingga likuiditas
pembayaran utangnya tidak bermasalah. Tindakan
ini bertujuan untuk mengantisipasi saat perusahaan swasta mengalami gagal bayar
atau ada permasalahan dalam keuangannya. Perhitungan deposit ini dapat
digunakan untuk pembayaran utang lua negeri tanpa harus mengganggu cadangan
devisa Indonesia.
Sebenarnya jika digunakan secara efisien dan tepat,
ULN swasta dapat meningkatkan pendapatan nasional karena adanya peningkatan
output. Kenyataannya di Indonesia, mayoritas ULN swasta berjangka panjang
tetapi digunakan untuk investasi jangka pendek sehingga terjadi defisit current account yang membuat foreign exchange reserve (FER) swasta menurun. Hal ini akan membuat nilai tukar
rupiah jatuh dan mengalami depresiasi rupiah.
Oleh karena itu peran pemerintah menjadi sangat dibutuhkan untuk menahan ULN
swasta yang berlebihan agar perekonomian Indonesia tetap stabil.
No comments:
Post a Comment
No Flame Please \(^.^)/