Ann’s POV
Kereta yang akan membawa ku ke
kantor telah tiba. Saat aku bergerak ingin menaikinya, tiba-tiba saja kepala ku
terasa sangat pusing dan akhirnya aku terhuyung kebelakang. Dan kereta ku yang
seharusnya membawa ku ke kantor telah pergi tanpa aku didalam sana. Bingung.
Itulah reaksi pertama ku. Aku bingung harus melakukan apa. Pikiranku menjadi
gelap. Aku tak lagi ingin pergi ke kantor. Yang aku tahu sekarang, aku tak
punya tujuan. Tiba-tiba ada kereta berhenti di depanku. Tanpa pikir panjang aku
menaiki kereta tersebut. Lalu aku mencari tempat duduk dan menghempaskan pantat
ku disana. Aku Cuma ingin tidur, tanpa pernah terbangun lagi. Aku harap semua
kejadian buruk ini hanyalah mimpi. Aku harap setelah terbangun, akan ada daigo
disampingku yang akan selalu menggenggam tangan ku atau setidaknya pacar ku itu
tak jadi memutuskan pernikahannya dengan ku hanya gara-gara hal sepele, tak mau
diceramahin dengan kata-kata mantan pacarku. Tapi, aku tahu ini semua kenyataan
dan bukan mimpi. Ingin sekali rasanya aku tenggelam.
Saat aku membuka mata, ada
seorang ibu yang memandang ku. Ibu itu memandang ku dengan tatapan aneh,
mengiba. Pelan-pelan ia mendekatiku dan berkata “ Ada apa nak? Sepertinya kau
sedang ada banyak masalah? Ayo bersemangatlah!” Setelah mengatakan itu, sang
ibu pergi ke gerbong lain.
Huh? Semangat?
Apa bisa?
Aku merasa… Lelah?
Capek?
Hanya kata-kata itu yang ada
dipikiran ku sekarang. Aku tak tahu harus kemana lagi. Tak ada tujuan yang
jelas. Tak ada lagi yang harus kupertahan kan di dunia ini. Jadi, buat apa aku
harus berusaha? Kenyataan itu membuatku tersenyum puas. Ya! Buat apa aku harus
berusaha. Buat apa aku mendengarkan kata ibu itu untuk tetap bersemangat.
Bersemangat? Bersemangat untuk apa? Hidup ku telah hancur dan tak berguna lagi.
Hahaha! Ya! Aku sekarang sangat yakin kalau aku tak perlu lagi berusaha! Sudah
sepatutnya aku menyerah! Mama saja menyerah dengan mudahnya, padahal ia punya
aku yang bisa dipertahankan.
Aku capek! Aku rasa aku sudah berada
dikubang kegelapan. Ingin rasanya aku tenggelam dan kuharap tak ada yang akan
menarik ku lagi. Dan saat aku tersadar dari lamunan ku. Ternyata kereta ini
membawaku ke Okayama. Dan sekarang aku tahu harus kemana. Aku pun berjalan
menuju pintu keluar, menunggu kereta ini berhenti. Setelah berhenti aku menaiki
taksi yang kulihat pertama kali dan berkata “Pak tolong antar ke pantai
okayama,”
Diperjalanan aku kembali
melamun. Dan merasakan betapa senangnya nanti bila aku melakukan hal ini. Aku
tidak akan merasa capek lagi! Aku akan bebas!
Sesampainya di pantai, aku
memberikan uang melebihi argonya. Kupikir, toh tidak ada gunanya lagi uang itu.
Dan tiba-tiba aku merasa pemikiran itu sangatlah benar dan aku tersenyum puas.
Setelah taksi itu pergi, aku pun mendekati pantai itu. Memandang gelung ombak
yang bersemangat memperlihatkan betapa kuatnya ia. Aku tertawa menyeringai dan
berkata,
“Hahaha. Hei ombak! Tidakkah
kamu merasa capek? Setiap hari, jam, menit, bahkan detik kau selalu bersemangat
membuat ombak yang besar! Dulu memang ombakmu sangat menyenangkan kami, para
manusia, tapi sekarang! Lihatlah tak ada orang yang datang kesini! Semua
berbondong-bondong meninggalkan mu! Mereka sudah sibuk dengan diri mereka
masing-masing tanpa ingat padamu! Tapi mengapa engkau masih saja berusaha?!
Hah!”
Percuma. Teriakan ku hanya
dijawab dengan deburan keras ombak itu. Hahaha.
Aku tertawa getir. Aku pun meneruskan perjalanan ku mengitari pantai okayama.
“Aduh!” teriak ku. Kulihat ke
bawah. Ternyata kaki ku terkena beling-beling yang berserakan. Darah mengalir
keluar dikakiku.
Darah.
Merah.
Entah setan apa yang tiba-tiba mengampiriku. Ku raih
pecahan beling itu dan ku goreskan ke pergelangan tangan ku dengan amat dalam.
“Aww!!” Teriakku ketika merasakan sakit yang amat sangat. Tapi rasa sakit itu
kini menyenangkan karena aku tahu ini adalah terakhir kalinya aku merasakan
sakit.
Dengan darah yang mengalir dari
pergelangan tangan ku, aku menuju gelungan ombak yang sepertinya memanggilku
untuk menemaninya. Rasa ingin tenggelam ku semakin kuat seiring senti demi
senti aku menuju ke tengah laut. Dan kesadaran ku pun berangsung-angsur mulai
menghilang.
Selamat Tinggal semuanya……
Aku sangat yakin dengan
keputusan yang kubuat ini tapi tiba-tiba suatu benda dari saku jaketku
berkhianat keluar muncul di permukaan laut. Ya! Itu adalah jam pasir pemberian
daigo waktu kami berumur 14 tahun. Di kesadaran ku yang tinggal setengah,
kenangan-kenangan datang menghampiri ku. Saat mama pergi meninggalkan ku untuk
selama-lamanya, saat daigo dengan lembut memperlakukan ku selayaknya seorang
wanita, saat ayah menikah lagi, dan saat pacarku memutuskan pernikahannya
dengan ku. Semua berputar-putar di otak ku. Dan satu hal yang menyadarkan ku
kalau ini semua salah. Saat nenek menyalahkan dirinya atas kematian mama dan
aku bilang kalau aku anak yang kuat seperti nenek.
Aku yang tersadar kalau
perbuatanku itu salah dan aku langsung berusaha berenang menuju pantai. Tapi
sia-sia saja, walau sudah sampai pantai, kesadaran ku sudah mulai terenggut dan
tergantikan dengan kegelapan. Aku hanya berharap mereka semua tak ada yang
menemukan ku dan akhirnya melupakan ku dengan cepat seiring dengan berjalannya
waktu. Nenek, ayah, shika, fuji, dan…. Daigo mudah-mudahan mereka tak akan
menangisi kepergian ku. Dan kegelapan mulai menghampiriku dan akhinya aku tak
sadarkan diri.
Selamat tinggal semua. Terima
kasih untuk semuanya. Maafin Ann yang menyerah dengan mudahnya.
No comments:
Post a Comment
No Flame Please \(^.^)/