Jika mendengar demo
buruh mengenai peningkatan UMR di Indonesia, entah kenapa saya merasa skeptis
mendengar itu semua. Isu terbaru dan terkini adalah mengenai demo buruh yang
terjadi di Surabaya yang meminta peningkatan UMR 2016 dari 2.710.000 menjadi 3.200.000
yang mana UMR 2016 di Jakarta itu lebih rendah yaitu sekitar 3.100.000. Jika
dipikir-pikir kebutuhan hidup di Jakarta lebih tinggi jika dibandingkan di
Surabaya, walaupun Surabaya merupakan kota besar di pulau Jawa bagian timur. Menurut
Badan Pusat Statistik, Surabaya menempati peringkat ke-8 dari 10 kota dengan
biaya hidup termahal, tetapi Jakarta menempati peringkat nomer satunya. Mungkin
pemikiran saya terbilang kapitalis, tetapi saya pikir jika melihat pendidikan
terakhir buruh yang lulusan SMP pun bisa menjadi buruh malah kadangkala ada
buruh yang berpendidikan terakhir SD, saya kira itu merupakan angka yang besar
untuk upah seorang buruh. Memang itulah hukum sosial yang harus dihadapi. Ada
pepatah adil itu bukan sama rata tetapi adil itu mendapatkan hak sesuai dengan
kewajibannya. Jika dipertanyakan lebih lanjut, apakah upah lulusan S1 harus
sama dengan lulusan SMA atau SMP? Karena disini pengaturan mengenai upah
minimum hanya ditujukan untuk buruh tetapi untuk pekerja untuk lulusan fresh graduate tidak ada peraturan yang
mengikat. Menurut artikel di sipendik.com
mengenai daftar standar gaji perusahaan di Indonesia dimana masih ada gaji 3
juta tertulis diartikel tersebut yang berarti upah lulusan S1 dan buruh HAMPIR
sama. Apakah itu yang disebut adil? Jika membandingkan dana dan waktu yang
BUANG lulusan S1 untuk meneruskan sekolahnya agar mendapatkan kehidupan yang
LEBIH layak.
Lalu
mari kita berpikir lagi, jika dikatakan karena mereka, yaitu para buruh,
berkata tidak dapat mengenyam pendidikan karena kekurangan dana untuk sekolah
tetapi belanja pemerintah untuk bidang pendidikan dari beberapa tahun silam
telah digalakkan dari bentuknya dana BOS, sekolah gratis, dan lain-lain yang
menunjang pendidikan. Saya tidak melihat bukan dari sisi daerah tertinggal
dimana saya pikir hampir tidak ada buruh disana karena tak ada pabrik disana yang
berarti buruh bekerja di daerah perkotaan atau daerah pedesaan dimana di desa
itu sudah terdapat sekolahan. Jadi, saya pun cukup bingung, apakah ini karena
orang tua yang kurang effort atau effort orang tua yang biasa-biasa saja
yang membiarkan anaknnya untuk tidak sekolah tinggi atau mungkin juga anaknya
yang malas sekolah karena menganggap sekolah itu memusingkan dan lebih baik
untuk bekerja? Karena sudah banyak sekali bukti dimana masyarakat kalangan
bawah bisa megenyam pendidikan sampai kuliah, malah ada yang sampai kuliah di
luar negeri lewat beasiswa, contohnya ada anak dari tukang becak yang menjadi
dokter, ada pemulung yang kuliah di salah satu kampus ternama di Bandung, dan
ada seorang pemulung yang bersekolah di salah satu SMA terbaik di Jakarta dan
mendapat beasiswa untuk kuliah di luar negeri. Pertanyaan selanjutnya adalah
apakah benar jika gajih buruh terus ditingkatkan itu suatu hal yang baik?
Mungkin dalam jangka pendek saya dapat berkata iya, tetapi dalam jangka
panjang? BIG NO, karena akan berdampak pada psikis anak Indonesia dimana mereka
menganggap dengan menjadi buruh dengan effort
yang kecil dapat menghasilkan upah yang “lumayan”. Akan semakin banyak anak
Indonesia yang malas untuk bersekolah. Angka putus sekolah yang tinggi tak
akan teratasi. Apakah buruh yang
sejahtera dapat menghasilkan generasi yang baik nantinya dari segi pendidikan?
Apakah nantinya buruh akan menjadi suatu cita-cita? Karena menurut saya
pendidikan mau formal ataupun informal sangat menentukan besarnya upah, dan
memang itulah salah satu tujuan jenjang pendidikan dimana tiap tingkatnya
mendapatkan upah yang berbeda.
Sekarang
mari kita lihat dari segi kemampuan buruh dan pemilik usahanya. Demo buruh adalah
demo untuk seluruh perusahaan di daerah tersebut untuk meningkatkan UMR. Tapi,
pernahkah buruh-buruh yang berdemo memperhitungkan kemampuan perusahaannya?
Karena tidak semua perusahaan merupakan perusahaan yang berskala besar, yang
sebagian besar perusahaan di Indonesia merupakan perusahaan-perusahaan kecil
dan termasuk infant industry. Mungkin
jika buruh-buruh tersebut demo untuk perusahaan yang skala usahanya sudah besar
itu wajar karena produktivitasnya pun mungkin sudah efisien, tetapi jika
berdemo untuk perusahaan kecil? Lalu, mari beralih ke kemampuan buruh dalam
memproduksi. Apakah buruh yang berdemo itu sudah bekerja secara efisien? Dimana
produktivitas atau kinerja mereka tinggi dalam menghasilkan produksi di
perusahhan tersebut. Tetapi, apakah produktivitas buruh di Indonesia tinggi?
Ataukah malah lebih rendah? Menurut saya, produktivitas di Indonesia terbilang
rendah jika melihat skill dan pendidikan yang dienyam. Selain itu, jika melihat contoh di Jakarta dimana UMR
yang ditetapka biasanya hampir 200ribu lebih tinggi dari pada kebutuhan hidup
layak (KHL) yang ditentukan. Kel ebihan tersebut harusnya bisa dialokasikan
untuk sesuatu yang produktif bukan konsumtif ataupun bisa untuk ditabung.
Tetapi banyak kasus dimana sangat banyak buruh yang menggunakan kendaraan
bermotor, bukan menggunakan angkutan umum, yang artinya mereka memiliki cukup
keberanian untuk mencicil dari pembelian motor tersebut karena upah tersebut
dianggap cukup untuk cicilan motor tersebut. Bayangkan jika gaji buruh mencapai
10 juta. Saya yakin bukan hanya motor yang dicicil, tetapi mobil ataupun rumah
yang mereka cicil.
Lalu
mari melihat kita bandingkan upah buruh di Indonesia dengan upah buruh di
negara lain. Menurut detik finance
beberapa upah buruh di ASEAN: Kamboja US$ 64/bulan, Laos US$ 78/bulan,
Myanmar US$ 112/bulan, Vietnam US$ 113/bulan, Thailand US$ 197/bulan, Filipina
US$ 200/bulan, Indonesia US$ 226/bulan, Malaysia US$ 300/bulan, Singapura US$
406/bulan. Di ASEAN, Indonesia menempati peringkat ketiga upah buruh tertinggi
setelah Singapore dan Malaysia. Biaya hidup di Singapore dan Malaysia terbilang
tinggi sehingga wajar jika upah buruhnya tinggi, tapi Indonesia? Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri
(Kadin) DKI Jakarta Sarman Simanjorang berpendapat nilai upah buruh Indonesia
yang tinggi tidak berbanding lurus dengan produktivitas buruh Indonesia yang
hanya menduduki peringkat 5 di kawasan Asia Tenggara di bawah Thailand dan Vietnam.
Hal ini membuat investor berpikir jika buruh buruh di Indonesia hanya menuntut
gaji tetapi tidak diimbangi produktivitas. Jika kenaikan UMR terus terjadi
tanpa adanya kenaikan produktivitas, tak memungkinkan perusahaan akan mem-PHK
burunhnya dan menggantinya dengan teknologi agar produksinya lebih efisien.
Ada beberapa kritik mengenai
peningkatan UMR dan KHL. Menurut saya, jika dilihat dari item-item yang masuk
di dalam KHL, item-item tersebut hanya diperuntukan untuk buruh yang belum
menikah ataupun hanya memiliki anak satu. Sedangkan banyak buruh yang sudah
menikah. KHL tidak memasukkan di item pendidikan mengenai sekolah juga
peralatan sekolahan. Sehingga KHL mungkin tidak efisien jika buruh tersebut
memiliki jumlah keluarga yang besar. Menteri Ketenagakerjaan Muh Hanif Dhakiri mengusulkan sistem
upah dengan pembagian hasil produktivitas perusahaan sebagai alternatif dari
sistem upah konvensional yang diterapkan selama ini. Pembagian hasil
peningkatan produktivitas tersebut dilakukan dengan model distribusi yang
berkeadilan kepada semua pihak yang berperan menciptakan tambahan pendapatan
yaitu pengusaha, pekerja dan para pihak pendukung lainnya. Dengan memperkenalkan sistem
bagi hasil produktivitas itu diharapkan hubungan industrial dapat melangkah
lebih maju yaitu tidak hanya terpaku kepada penetapan upah minimum saja, akan
tetapi lebih berorientasi kepada peningkatan produktivitas perusahaan sehingga
ikut meningkatkan upah atau kesejahteraan pekerja. Selain itu, ada rencana pemerintah yang jika benar-benar
teralisasi sangat bagus untuk menunjang buruh, yaitu pembangunan rumah sakit
khusus untuk buruh dan penghapusan
penghasilan kena pajak. Jika hal ini dapat terealisasi maka buruh akan
sejahtera dengan cara yang produktif. Semoga pemerintah dapat mengambil keputusan yang bijak dalam keputusan upah di Indonesia.